BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’andiyakini oleh umat Islam
sebagai kalamullah (firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman
dan mengandung ajaran serta petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti. Ajaran dan petunjuk
al-Qur’an tersebut berkaitan dengan berbagai konsep yang amat dibutuhkan oleh
umat manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia ini dan di akhirat kelak.
Al-Qur’an berbicara tentang berbagai
hal, seperti aqidah, ibadah, mu’amalah berbicara pula tentang pendidikan. Namun
demikian, al-Qur’an bukanlah kitab suci yang siap pakai, dalam arti berbagai
konsep yang dikemukakan al-Qur’an tersebut tidak langsung dapat dihubungkan
dengan berbagai masalah tersebut. Ajaran al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang
global, ringkas dan general. Untuk dapat memahami ajaran al-Qur’an tentang
berbagai masalah tersebut mau tidak mau seseorang harus melewati jalur tafsir
sebagaimana telah dilakukan para ulama’.[1]
Berbicara masalah pendidikan,
tentunya tidak lepas dari ilmu pengetahuan, adanya tujuan pendidikan, subjek
pendidikan, metode pengajaran, dan tentunya terdapat objek pendidikan pula. Di
dalm al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan masalah-masalah pendidikan
tersebut.
Dalam makalah ini akan sedikit
membahas terkait dengan objek pendidikan berdasarkan al-Qur’an yang terkandung
dalam QS.At Tahrim ayat 6, QS. Asy Syu’ara ayat 214, QS. At Taubat ayat 122 dan
QS. An Nisa’ ayat 170.
B. Rumusan Masalah
1.
Siapakah objek pendidikan berdasarkan QS. At Tahrim ayat 6?
2.
Siapakah objek pendidikan berdasarkan QS. Asy Syu’ara ayat 214?
3.
Siapakah objek pendidikan berdasarkan QS. At Taubat ayat 122?
4.
Siapakah objek pendidikan berdasarkan QS. An Nisa’ ayat 170?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
QS. At Tahrim ayat 6
يَااَيُّهَاالّذِيْنَ
امنُواقُوا اَنْفُسَكُمْ واَهْليْكُمْ نَاراً وقُوْدُهاالنّاسُ والْحِجَارَة
عليْها ملائِكةُ غِلاظٌ شِدادٌ لاَيُعْصُون اللهُ مَاامرَهُمْ وَيفْعَلوْنَ مايُؤمرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman peliharahlah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkanNya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”(QS. At Tahrim:6).
Dalam ayat ini terdapat lafadz
perintah berupa fi’il amar yang secara langsung dengan tegas, yakni lafadz (peliharalah/jagalah),
hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang mu’min salah satunya adalah
menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir
jalalain proses penjagaan tersebut ialah dengan pelaksanaan perintah taat
kepada Allah merupakan tanggung jawab manusia untuk menjaga dirinya sendiri
serta keluarganya. Sebab manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan
keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana
Rosulullah SAW bersabda:
“dari Ibnu Umar RA berkata:
saya mendengar Rosululloh SAW bersabda: setiap dari kamu adalah pemimpin, dan
setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawabannya, orang laki-laki adalah
pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai atas kepemimpinannya..”(HR.Bukhari
Muslim).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat
keenam ini turun, Umar berkata: “waha Rosulullah, kami sudah menjaga diri kami,
dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rosulullah menjawab: “larang mereka
mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka
melakukan apa yang Allah perintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya
meluputkan mereka dari api neraka.
Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah
Sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan dari dalam
neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepadanya.[2]
Ada
pula tafsir lain yang menjelaskan, bahwa pada ayat tersebut terdapat kata ‘qu
anfusakum’ yang berarti buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang siksaan
api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat,[3]
memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat
menjalankan perintah Allah. Selanjutnya “wa Ahlikum”, maksudnya adalah
keluargamu yang terdiri dari istri, anak, pembantu budak dan di perintahkan
kepada mereka agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan
pendidikan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan Hadist Rasulullah yang di
riwayatkan oleh Ibn Al Munzir, Al Hakim, oleh riwayat laen dari Ali RA ketika
menjelaskan ayat tersebut, meksudnya adalah berikanlah pendidikan dan
pengetahuan mengenai kebaikan terhadap dirimu dan keluargamu. Kemudian “Al
Wuqud” adalah sesuatu yang dapat di pergunakan untuk menyalakan api.
Sedangkan”Al Hijaroh” adalah batu berhala yang biasa di sembah oleh masyarakat
Jahiliyah. “Malaikatun” dalam ayat tersebut maksudnya mereka yang berjumlah
Sembilan belas dan bertugas menjaga Neraka. Sedangkan ”Ghiladhun” maksunya
adalah hati yang keras, yaitu hati yang tidak memiliki rasa belah kasihan
apabila ada orang yang meminta dikasihani. Dan “Syidadun” artinya memiliki
kekuatan[4]
yang tidak dapat di kalahkan.
Lebih
lanjut Al-Maraghi mengemukakan maksud ayat tersebut (yaa ayyuhal ladziina
amanu… al hijaroh) dengan keterangan: wahai orang-orang yang membenarkan adanya
Allah dan RosulNya hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan sebagian yang
lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan menolaknya, karena yang
demikian itu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan mengikuti segala
perintahNya dan juga mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan ketaatan
yang dapat memelihara dirinya dengan cara memberikan nasehat dan pendidikan.[5]
Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar
mendidik hukum-hukum agama kepada mereka.
Pengertian
tentang pentingnya membina keluarga agar terhindar dari api neraka ini tidak
semata-mata diartikan api neraka yang ada di akhirat nanti, melainkan termasuk
pula berbagai masalah dan bencana yang menyedihkan, merugikan dan merusak citra
pribadi seseorang. Sebuah keluarga yang anaknya terlibat dalam berbagai
perbuatan tercela seperti mencuri, merampok, menipu, berzina, minum-minuman
keras, terlibat narkoba, membunuh, dan sebagainya adalah termasuk kedalam
hal-hal yang dapat mengakibatkan bencana di muka bumi dan merugikan orang yang
melakukannya, dan hal itu termasuk perbuatan yang membawa bencana.[6]
B.
QS Asy Syu’ara ayat
214
وَاَنْذِرْعَشِيْرَتَكَ
الاَقْرَبِيْنَ. وَاخْفِض جَناحكَ لِمَنِ اتَّبَعكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ. فَاِنْ
عَصَوْكَ فَقُلْ اِنىِّ بَرِيْءٌ مِمّاَ تَعْمَلوْنَ. وَتَوكَّلْ عَلى الْعَزيْزُ
الرَّحيْمِ*
“Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang
yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu
maka katakanlah:”sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu
kerjakan.” Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang.” (QS Ay Syu’ara:
214-217)
Sesuai dengan ayat sebelumnya
(QS At Tahrim:6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amar (berilah
peringatan). Namun perbedaanya adalah tentang objeknya, dimana dalam ayat ini
adalah kerabat-kerabat.
“Aq Alrobin” mereka
adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, lalu Nabi SAW memberikan peringatan
kepada mereka secara terang-terangan. Demikianlah menurut keterangan Hadits
yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim
Namun
hal tersebut berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan
Mutholib, tetapi juga untuk seluruh umat islam, karena dilihat dari munasabah
ayat, selanjutnya terdapat ayat ke 215:” Dan rendahkanlah dirimu terhadap
orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman jadi perintah ini
juga berlaku untuk seluruh umat islam”[7].
At
Thobari meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi menyampaikan pesan suci
yang diterimanya kepada seluruh kerabat dan keluarga terdekatnya. Sementara
Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi langsung
mengumpulkan anak dan kerabat seraya manyampaikan pesan:
لا املك لك شيئا من الله, سلونى
من مالى ما شئتم
Saya tidak mempunyai wewenang
tanggung jawab sama sekali terhadap kalian dari siksaan Allah, kala masalah
harta silahkan minta apa yang saya punya semau kalian.
Sementara
Al Bukhori meriwayatkan bahwa ketika ayat tersebut turun Nabi langsung menuju
dan naik bukit shofa seraya mengumpulkan sanak kerabat dan sahabatnya. Beliau
menyeru kapada seluruh kerabat besarnya, yang isi seruannya adalah:
انّى نذيْرٌ لكم بين يدى من
عدابٍ شديدٍ
Dan seruan tersebut dengan
sepontan ditanggapi dan disahuti oleh paman-paman Nabi, Abu Lahab, dengan
sanggahan:
تبّا لك يائر اليوم
امادعوتنا الاّ لهذا؟
Ketika itu pula Allah menjawab
sanggahan Abu Lahab tersebut dengan menurunkan Q.S Al Lahab.
Dari ayat diatas, jika dilihat
dari perspektif tanggung jawab pendidikan atau dakwah, maka dapat
disederhanakan menjadi beberapa poin penting diantaranya adalah[8]:
a.
Jika ayat yang pertama diatas
direlasikan dengan ayat yang sebelumnya yaitu:
فلا تدعو مع اللهِ الهاً اخر
فتكونَ من الْمُعذَّبينَ
Maka janganlah kamu menyeru
(menyembah) Tuhan yang lain disamping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang yang di azab.(Qs. Al Su’ara: 213)
Maka, dalam ayat tersebut
Allah memerintahkan kepada Rosul untuk meningkatkan keikhlasannya. Padahal
secara rasional perintah tersebut tidaklah tepat sasarannya. Oleh karena itu,
hakikat yang dituju dari sesuatu tersebut adalah ummat Muhammad. Karena salah
satu sikap etis al-Qur’an jika ingin menyampaikan pesan kepada umat, khitobnya
terlebih dahulu ditujukan kepada pemimpinnya. Maka jika ayat tersebut formalnya
adalah Rosul, maka ayat yang berikutnya khitob untuk ummat dan kerabatnya.
b.
Gaya retorik tersebut
memberikan isyarat bahwa dalam pandangan al-Qur’an tanggungjawab pendidikan
bukan hanya terbatas pada wilayah kekuasaan, baik formal maupun non formal,
tetapi juga konsistensi antara apa yang disampaikan dengan kondisi perilaku
yang menyampaikan. Oleh karena itu, sebelum segala sesuatunya, pendidik harus
terlebih dahulu mampu memberi qudwah hasanah kepada peserta didiknya.
c.
Kata idzar yang direlasikan
dengan kata ‘asyir dan kata aqrab, menunjukkan bahwa hubungan kedekatan,
kekerabatan, kekeluargaan, serta nashab dalam pendidikan, jangan sampai disalah
gunakan sebagai factor peningkatan kwalitas peserta didik yang menafikan proses
dan hukum sebab akibat.
d.
Dalam pendidikan, keseriusan
dalam menyampaikan suatu masalah tidaklah menghalangi untuk bersikap ramah dan
lemah lembut, serta senantiasa menghindari sikap emosional. Hal ini seperti
yang dijelaskan dalam lanjutan ayat
واخفض جنا حك لمن
اتّبعك من المؤمنين
e.
Ayat 214 menunjukkan bahwa
dalam pendidikan harus bersikap adil, dimana setiap peserta didik mempunyai hak
yang sama dari pendidik. Adapun peringatan nabi kepada keluarganya pada ayat
diatas hanyalah merupakan sikap etis (birr) terhadap sanak kerabatnya yang
tidak berhenti dan menghalangi untuk berbuat baik kepada orang lain.
f.
Dalam menyampaikan sebuah
pesan kepada peserta didik, jika segala upaya dan cara telah ditempuh, ternyata
belum menghasilkan apa yang diharapkan oleh pendidik, maka pendidik harus sadar
bahwa hasil tersebut bukan hak veto manusia, melainkan adalah hak prerogatif
Allah. Oleh karena itu, segala sesuatunya harus dikembalikan kepada yang Maha
Kuasa.
C. Qs. At Tahrim Ayat 122
وما كان المؤمنون
لينفروا كآفّةً فلولا نفر من كلِّ فرقةٍ منهم طآئفةٌ ليتفقّهوا فى الدّينِ
وليُنْذروا قومهم اذا رجعوا اليهم لعلّهم يحذرونَ.
“tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mu’min pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang Agama dan untuk member peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menyadari
dirinya (Qs. At Tahrim: 122)
Dalam
ayat diatas juga terdapat dua lafadz fi’il amar, yang disertai dengan lam amar,
yakni (supaya mereka memperdalam ilmu) dan lafadz (supaya mereka member
peringatan), yang berarti kewajiban untuk belajar mengajar.
Apapun
proses belajar mengajar sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau: “dan
darinya (Abu Hurairah ra) sesungguhnya Rosulullah SAW bersabda: barang siapa
yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya
tidak dikurangi sedikit pun dari padanya (HR. Muslim)
Menurut
Al Maraghi ayat tersebut member isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu
agama (wujub al tafaqqub fi al din) serta menyiapkan segala sesuatu yang di
butuhkan untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah di dirikan serta
mengajarkanya pada menusia berdasarkan kadar yang diperkirakann dapat
memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak
mengetahui hukum-hukum agama yang apada umumnya yang harus dikerahui oleh
orang-orang yang beriman. Menyiapkan
diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut
adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang
tinggi dihadapan Allah, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang
berjihat dengan harta dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah,
bahkan upaya tersebut kedudukanya lebih tnggi dari mereka yang keadaanya tidak
sedang berhadapan dengan musuh[9].
Berdasarkan keterangan ini, maka mempelajari Fikih termasuk wajib, walaupun
sebenarnya kata Tafaqquh tersebut maknah umumnya adalah memperdalam ilmu agama,
termasuk ilmu Fikih, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan sebagainya[10].
D. QS An nisa ayat 170
يآايّهاالنّاسُ قدْجآءكم الرّسولُ بالحقِّ من
ربِّكم فآمنوا خيْراً لكم وانْ تكْفروْا فاِنّ للهِ مافى السّماواتِ والارْضِ وكان
اللهُ عليْماً حكيْماً
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul
(Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari tuhanmu maka berimanlah
kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir,(maka kekafiran itu
tidak merugikan sedikitpun kepada Allah) karena sesungguhnya apa yang dilangit
dan dibumi adalah adalah kepunyaan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksan.(QS. An nisa 170)
Dalam ayat ini Allah menyeru
manusia untuk manusia, sebab sudah ada Rasul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus
untuk membawa syari’at yang benar.
Dalam tafsir disebutkan bahwa
lafadz an Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekah. Adapun
manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyari’ah, maka dakwah dan
tarbiyahnya kepada non muslim pun harus dilakukan, tentunya dengan jalan yang
baik.
Nabi SAW bersabda: “dari Abdullah
ibn ‘Amr ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: sampaikanlah
dariku walau satu ayat…” (HR.Bukhari).
Maka manusia baik yang muslim
maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun, disini perlu
diluruskan, bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan
perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mau’idhoh hasanah, dan argument yang
bertanggung jawab.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Dalam Qs At Tahrim ayat 6,
menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka dan
merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga.
2.
Dalam Qs Asy Syu’ara ayat 214,
menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah kerabat terdekat dari
kita dan orang-orang yang dekat kepada adzab Allah SWT.
3.
Dalam Qs At Taubah ayat 122,
menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah lebih khusus, yakni
sebagian dari orang-orang mu’min.
4.
Dalam Qs An Nisa ayat 170,
menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah seluruh manusia, baik
yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun disini
perlu diluruskan bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan
dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mau’idhoh hasanah, dan argument
yang bertanggungjawab.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan. 2002. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Munir, Ahmad. Tafsir Tarbawi Mengungkap
Pesan Al-qur’an tentang Pendidikan. 2008. Yogyakarta: Teras.
Ricky-diah.blogspot.com/objek-pendidikan-dalam-al-qur’an.html
[1] DR.H.Abuddin Nata,MA. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.1-2
[7] Op. Cit. ricky-diah.blogspot.com.
[8] Ahmad Munir. Tafsir Tarbawi mengungkap pesan Al-Qur’an tentang
pendidikan. 2008. Yogyakarta: Teras. hlm: 133-137.
[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi jilid IV (Beirut Dar al
fikr, tp.th.) hlm:48.
[10] Op.Cit, Abuddin Nata. hlm: 159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar