Rabu, 29 Mei 2013

makalah objek pendidikan dalam al-Qur'an





BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
            Al-Qur’andiyakini oleh umat Islam sebagai kalamullah (firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran serta petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti. Ajaran dan petunjuk al-Qur’an tersebut berkaitan dengan berbagai konsep yang amat dibutuhkan oleh umat manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia ini dan di akhirat kelak.
            Al-Qur’an berbicara tentang berbagai hal, seperti aqidah, ibadah, mu’amalah berbicara pula tentang pendidikan. Namun demikian, al-Qur’an bukanlah kitab suci yang siap pakai, dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan al-Qur’an tersebut tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah tersebut. Ajaran al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global, ringkas dan general. Untuk dapat memahami ajaran al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut mau tidak mau seseorang harus melewati jalur tafsir sebagaimana telah dilakukan para ulama’.[1]
            Berbicara masalah pendidikan, tentunya tidak lepas dari ilmu pengetahuan, adanya tujuan pendidikan, subjek pendidikan, metode pengajaran, dan tentunya terdapat objek pendidikan pula. Di dalm al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan masalah-masalah pendidikan tersebut.
            Dalam makalah ini akan sedikit membahas terkait dengan objek pendidikan berdasarkan al-Qur’an yang terkandung dalam QS.At Tahrim ayat 6, QS. Asy Syu’ara ayat 214, QS. At Taubat ayat 122 dan QS. An Nisa’ ayat 170.

B. Rumusan Masalah
1.      Siapakah objek pendidikan berdasarkan QS. At Tahrim ayat 6?
2.      Siapakah objek pendidikan berdasarkan QS. Asy Syu’ara ayat 214?
3.      Siapakah objek pendidikan berdasarkan QS. At Taubat ayat 122?
4.      Siapakah objek pendidikan berdasarkan QS. An Nisa’ ayat 170?






BAB II
PEMBAHASAN


A.    QS. At Tahrim ayat 6
يَااَيُّهَاالّذِيْنَ امنُواقُوا اَنْفُسَكُمْ واَهْليْكُمْ نَاراً وقُوْدُهاالنّاسُ والْحِجَارَة عليْها ملائِكةُ غِلاظٌ شِدادٌ لاَيُعْصُون اللهُ مَاامرَهُمْ وَيفْعَلوْنَ مايُؤمرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman peliharahlah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”(QS. At Tahrim:6).

            Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah berupa fi’il amar yang secara langsung dengan tegas, yakni lafadz (peliharalah/jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang mu’min salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir jalalain proses penjagaan tersebut ialah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah merupakan tanggung jawab manusia untuk menjaga dirinya sendiri serta keluarganya. Sebab manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana Rosulullah SAW bersabda:
“dari Ibnu Umar RA berkata: saya mendengar Rosululloh SAW bersabda: setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawabannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai atas kepemimpinannya..”(HR.Bukhari Muslim).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat keenam ini turun, Umar berkata: “waha Rosulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rosulullah menjawab: “larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah perintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api  neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah Sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan dari dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepadanya.[2]
            Ada pula tafsir lain yang menjelaskan, bahwa pada ayat tersebut terdapat kata ‘qu anfusakum’ yang berarti buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang siksaan api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat,[3] memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah. Selanjutnya “wa Ahlikum”, maksudnya adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak, pembantu budak dan di perintahkan kepada mereka agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan Hadist Rasulullah yang di riwayatkan oleh Ibn Al Munzir, Al Hakim, oleh riwayat laen dari Ali RA ketika menjelaskan ayat tersebut, meksudnya adalah berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan terhadap dirimu dan keluargamu. Kemudian “Al Wuqud” adalah sesuatu yang dapat di pergunakan untuk menyalakan api. Sedangkan”Al Hijaroh” adalah batu berhala yang biasa di sembah oleh masyarakat Jahiliyah. “Malaikatun” dalam ayat tersebut maksudnya mereka yang berjumlah Sembilan belas dan bertugas menjaga Neraka. Sedangkan ”Ghiladhun” maksunya adalah hati yang keras, yaitu hati yang tidak memiliki rasa belah kasihan apabila ada orang yang meminta dikasihani. Dan “Syidadun” artinya memiliki kekuatan[4] yang tidak dapat di kalahkan.
            Lebih lanjut Al-Maraghi mengemukakan maksud ayat tersebut (yaa ayyuhal ladziina amanu… al hijaroh) dengan keterangan: wahai orang-orang yang membenarkan adanya Allah dan RosulNya hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan sebagian yang lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan menolaknya, karena yang demikian itu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan mengikuti segala perintahNya dan juga mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan ketaatan yang dapat memelihara dirinya dengan cara memberikan nasehat dan pendidikan.[5] Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau kewajiban terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada mereka.
            Pengertian tentang pentingnya membina keluarga agar terhindar dari api neraka ini tidak semata-mata diartikan api neraka yang ada di akhirat nanti, melainkan termasuk pula berbagai masalah dan bencana yang menyedihkan, merugikan dan merusak citra pribadi seseorang. Sebuah keluarga yang anaknya terlibat dalam berbagai perbuatan tercela seperti mencuri, merampok, menipu, berzina, minum-minuman keras, terlibat narkoba, membunuh, dan sebagainya adalah termasuk kedalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bencana di muka bumi dan merugikan orang yang melakukannya, dan hal itu termasuk perbuatan yang membawa bencana.[6]

B.     QS Asy Syu’ara ayat 214
 وَاَنْذِرْعَشِيْرَتَكَ الاَقْرَبِيْنَ. وَاخْفِض جَناحكَ لِمَنِ اتَّبَعكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ. فَاِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ اِنىِّ بَرِيْءٌ مِمّاَ تَعْمَلوْنَ. وَتَوكَّلْ عَلى الْعَزيْزُ الرَّحيْمِ*

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:”sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS Ay Syu’ara: 214-217)
            Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS At Tahrim:6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaanya adalah tentang objeknya, dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat.
            “Aq Alrobin” mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, lalu Nabi SAW memberikan peringatan kepada mereka secara terang-terangan. Demikianlah menurut keterangan Hadits yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim
            Namun hal tersebut berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan Mutholib, tetapi juga untuk seluruh umat islam, karena dilihat dari munasabah ayat, selanjutnya terdapat ayat ke 215:” Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman jadi perintah ini juga berlaku untuk seluruh umat islam”[7].
            At Thobari meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi menyampaikan pesan suci yang diterimanya kepada seluruh kerabat dan keluarga terdekatnya. Sementara Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi langsung mengumpulkan anak dan kerabat seraya manyampaikan pesan:
لا املك لك شيئا من الله, سلونى من مالى ما شئتم
Saya tidak mempunyai wewenang tanggung jawab sama sekali terhadap kalian dari siksaan Allah, kala masalah harta silahkan minta apa yang saya punya semau kalian.
            Sementara Al Bukhori meriwayatkan bahwa ketika ayat tersebut turun Nabi langsung menuju dan naik bukit shofa seraya mengumpulkan sanak kerabat dan sahabatnya. Beliau menyeru kapada seluruh kerabat besarnya, yang isi seruannya adalah:
انّى نذيْرٌ لكم بين يدى من عدابٍ شديدٍ
Dan seruan tersebut dengan sepontan ditanggapi dan disahuti oleh paman-paman Nabi, Abu Lahab, dengan sanggahan:
تبّا لك يائر اليوم امادعوتنا الاّ لهذا؟
Ketika itu pula Allah menjawab sanggahan Abu Lahab tersebut dengan menurunkan Q.S Al Lahab.
Dari ayat diatas, jika dilihat dari perspektif tanggung jawab pendidikan atau dakwah, maka dapat disederhanakan menjadi beberapa poin penting diantaranya adalah[8]:
a.       Jika ayat yang pertama diatas direlasikan dengan ayat yang sebelumnya yaitu:
فلا تدعو مع اللهِ الهاً اخر فتكونَ من الْمُعذَّبينَ
Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) Tuhan yang lain disamping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang di azab.(Qs. Al Su’ara: 213)
Maka, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada Rosul untuk meningkatkan keikhlasannya. Padahal secara rasional perintah tersebut tidaklah tepat sasarannya. Oleh karena itu, hakikat yang dituju dari sesuatu tersebut adalah ummat Muhammad. Karena salah satu sikap etis al-Qur’an jika ingin menyampaikan pesan kepada umat, khitobnya terlebih dahulu ditujukan kepada pemimpinnya. Maka jika ayat tersebut formalnya adalah Rosul, maka ayat yang berikutnya khitob untuk ummat dan kerabatnya.
b.      Gaya retorik tersebut memberikan isyarat bahwa dalam pandangan al-Qur’an tanggungjawab pendidikan bukan hanya terbatas pada wilayah kekuasaan, baik formal maupun non formal, tetapi juga konsistensi antara apa yang disampaikan dengan kondisi perilaku yang menyampaikan. Oleh karena itu, sebelum segala sesuatunya, pendidik harus terlebih dahulu mampu memberi qudwah hasanah kepada peserta didiknya.
c.       Kata idzar yang direlasikan dengan kata ‘asyir dan kata aqrab, menunjukkan bahwa hubungan kedekatan, kekerabatan, kekeluargaan, serta nashab dalam pendidikan, jangan sampai disalah gunakan sebagai factor peningkatan kwalitas peserta didik yang menafikan proses dan hukum sebab akibat.
d.      Dalam pendidikan, keseriusan dalam menyampaikan suatu masalah tidaklah menghalangi untuk bersikap ramah dan lemah lembut, serta senantiasa menghindari sikap emosional. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam lanjutan ayat
واخفض جنا حك لمن اتّبعك من المؤمنين
e.       Ayat 214 menunjukkan bahwa dalam pendidikan harus bersikap adil, dimana setiap peserta didik mempunyai hak yang sama dari pendidik. Adapun peringatan nabi kepada keluarganya pada ayat diatas hanyalah merupakan sikap etis (birr) terhadap sanak kerabatnya yang tidak berhenti dan menghalangi untuk berbuat baik kepada orang lain.
f.       Dalam menyampaikan sebuah pesan kepada peserta didik, jika segala upaya dan cara telah ditempuh, ternyata belum menghasilkan apa yang diharapkan oleh pendidik, maka pendidik harus sadar bahwa hasil tersebut bukan hak veto manusia, melainkan adalah hak prerogatif Allah. Oleh karena itu, segala sesuatunya harus dikembalikan kepada yang Maha Kuasa.

C.    Qs. At Tahrim Ayat 122
وما كان المؤمنون لينفروا كآفّةً فلولا نفر من كلِّ فرقةٍ منهم طآئفةٌ ليتفقّهوا فى الدّينِ وليُنْذروا قومهم اذا رجعوا اليهم لعلّهم يحذرونَ.
“tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Agama dan untuk member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menyadari dirinya (Qs. At Tahrim: 122)
            Dalam ayat diatas juga terdapat dua lafadz fi’il amar, yang disertai dengan lam amar, yakni (supaya mereka memperdalam ilmu) dan lafadz (supaya mereka member peringatan), yang berarti kewajiban untuk belajar mengajar.
            Apapun proses belajar mengajar sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau: “dan darinya (Abu Hurairah ra) sesungguhnya Rosulullah SAW bersabda: barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi sedikit pun dari padanya (HR. Muslim)
            Menurut Al Maraghi ayat tersebut member isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama (wujub al tafaqqub fi al din) serta menyiapkan segala sesuatu yang di butuhkan untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah di dirikan serta mengajarkanya pada menusia berdasarkan kadar yang diperkirakann dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang apada umumnya yang harus dikerahui oleh orang-orang  yang beriman. Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan Allah, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang berjihat dengan harta dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bahkan upaya tersebut kedudukanya lebih tnggi dari mereka yang keadaanya tidak sedang berhadapan dengan musuh[9]. Berdasarkan keterangan ini, maka mempelajari Fikih termasuk wajib, walaupun sebenarnya kata Tafaqquh tersebut maknah umumnya adalah memperdalam ilmu agama, termasuk ilmu Fikih, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan sebagainya[10].

D.    QS An nisa ayat 170
 يآايّهاالنّاسُ قدْجآءكم الرّسولُ بالحقِّ من ربِّكم فآمنوا خيْراً لكم وانْ تكْفروْا فاِنّ للهِ مافى السّماواتِ والارْضِ وكان اللهُ عليْماً حكيْماً
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari tuhanmu maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir,(maka kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun kepada Allah) karena sesungguhnya apa yang dilangit dan dibumi adalah adalah kepunyaan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksan.(QS. An nisa 170)

Dalam ayat ini Allah menyeru manusia untuk manusia, sebab sudah ada Rasul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang benar. 
Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz an Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekah. Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyari’ah, maka dakwah dan tarbiyahnya kepada non muslim pun harus dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik.
Nabi SAW bersabda: “dari Abdullah ibn ‘Amr ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: sampaikanlah dariku walau satu ayat…” (HR.Bukhari).
Maka manusia baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun, disini perlu diluruskan, bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mau’idhoh hasanah, dan argument yang bertanggung jawab.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Dalam Qs At Tahrim ayat 6, menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka dan merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga.
2.      Dalam Qs Asy Syu’ara ayat 214, menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah kerabat terdekat dari kita dan orang-orang yang dekat kepada adzab Allah SWT.
3.      Dalam Qs At Taubah ayat 122, menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah lebih khusus, yakni sebagian dari orang-orang mu’min.
4.      Dalam Qs An Nisa ayat 170, menunjukkan bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah seluruh manusia, baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mau’idhoh hasanah, dan argument yang bertanggungjawab.
                                                                                                                        










DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. 2002. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Munir, Ahmad. Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al-qur’an tentang Pendidikan. 2008. Yogyakarta: Teras.
Ricky-diah.blogspot.com/objek-pendidikan-dalam-al-qur’an.html



[1] DR.H.Abuddin Nata,MA. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.1-2
[2] Ricky-diah.blogspot.com/objek-pendidikan-dalam-al-qur’an.html
[3] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,jilid X, (Mesir: Dar alfikr.tp.th.), hlm: 161
[4] Ibid, hlm: 161
[5] Op. Cit, Tafsir al-Maraghi jilid X
[6] Abuddin Nata, Tafsir ayat-ayat pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.2002. hlm: 200.
[7] Op. Cit. ricky-diah.blogspot.com.
[8] Ahmad Munir. Tafsir Tarbawi mengungkap pesan Al-Qur’an tentang pendidikan. 2008. Yogyakarta: Teras. hlm: 133-137.
[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi jilid IV (Beirut Dar al fikr, tp.th.) hlm:48.
[10] Op.Cit, Abuddin Nata. hlm: 159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar